Wednesday, October 27, 2010

Dear Tuhan (tentang tanahku)

 pic. http://thejakartapost.com

Dear Tuhan,

Tuhan, maafkan kami, kami memang bukan siapa-siapa hanya hambaMu yang memohon agar semuanya baik-baik saja.

Tuhan, entah apa yang terjadi dengan negeri kami hari ini. Seolah tanah ini sedang marah meluapkan emosinya

Tuhan, gunung-gunung yang biasanya diam,kokoh dan bersahaja itu kali ini seolah ingin berbicara melalui abu vulkanik yang dikeluarkannya. Menghujani semua yang berada di bawah kakinya. Ribuan orang harus menghirup paksa abu perut bumi. Para manula di usia senjanya pasrah tak berdaya pada alam. Para ibu yang takut terlihat tegar demi si anak yang menangis menjerit di pelukannya.

Tuhan, lautan yang tenang itu bergemuruh di dasarnya dan ikut berbicara lewat air yang ia hempaskan ke daratan. Menyapu dan meluluh lantakkan rumah-rumah beserta isinya yang sedang tenang di pinggirannya.

Tuhan, Engkau pasti tahu karena Engkau Maha tahu. Di negeriku ini banyak sekali perbedaan yang seharusnya keragaman ini menjadikannya sangat indah tapi mengapa kami saling mengejek dan menghina suku saudara-saudara kami.

Tuhan, bukan hanya itu bahkan untuk sebuah urusan beribadah suatu hal yang berhubungan denganMu kami saling berteriak,memaki bahkan menyakiti.

Tuhan, kami sungguh muak mendengarkan orang-orang yang berteriak mengatas namakanMu tetapi dengan menyakiti sesamanya.

Tuhan, kami ini semua hambaMu yang tak punya beda di mataMu selain apa yang telah kami tanam. Tapi di sini terlihat sekali perbedaan kami. Si kaya dan si miskin batasan status sosial yang sangat nyata. Sebagian dari kami sanggup mengahambur-hamburkan uang atas nama professionalitas padahal tidak. Dan sebagian lagi dari kami harus mengeruk tumpukan sampah untuk bisa mendapatkan sesuap nasi.

Tuhan, kami anak negeri yang berusaha sekuat tenaga mempertahankan tanah ini dari kesewenang-wenangan. Tanah yang kami pijak sedari kami bisa bernafas tapi mengapa para pemimimpin kami seolah mengacuhkannya dan berlagak tuli.

Tuhan, seharusnya kami didengarkan tapi kenapa sebaliknya kami harus mendengarkan keluh kesah dari pemimpin kami?

Tuhan, sungguh kami lelah menangis, harapan yang sanggup membuat kami bertahan kini hanya membuat kami sesak nafas.

Tuhan, marahkah Engkau pada kami? Ujiankah yang Engkau berikan pada kami? Kami tahu ada yang salah pada kami sehingga ibu pertiwi ini tak berhenti menangis.

Tuhan, entah kapan ini akan berakhir tapi kami yakin suatu saat nanti ibu pertiwi kami ini akan tersenyum lagi. Kami tahu sudah meminta sangat banyak dan Engkau memberikan lebih banyak dari yang kami minta tapi kami mohonkan lagi untuk yang kesekian kalinya kuatkan kami untuk menghadapinya.

2 cerita:

isti said...

semoga gak ada bencana-bencana lain ya say..

almascatie said...

jika laknat adalah bagian dari negara ini, maka cukup kami yg rasakan, bukan lagi generasi stelah kami.

Post a Comment