Thursday, December 10, 2020

Monolog Hati

 

Benar bahwa ada yang mengatakan hidup ini adalah serangkaian pertemuan demi pertemuan. Pertemuan denganmu menandakan kita pernah ada pada irisan yang sama di satu lintasan waktu. Alam sadarku bersabda rasa itu pernah ada, menuliskan jalan kisahnya sendiri.


Nyatanya tak terpungkiri hatiku pernah bertekuk lutut di depan pintumu dengan sekotak rasa yang aku punya.  Dengan setulus hatiku dan semampu yang dapat kurasa aku katakan bahwa cinta itu tak pernah hilang walaupun sekejap tentang harap.


Mungkin aku terluka karena musim air mata pernah tiba, menderai di antara kerontangnya hati. Rintik sendu yang merinai di sela-sela jelaga pernah membawa seutas tanya tentang arti hadir diri bagimu. Adakah rindu pernah menderas di tengah malam-malammu menginginkan adaku? 


Tapi kini, semuanya berlalu. Pagi tak lagi semenyakitkan itu, rindu tidak lagi menghentakkan kekuatannya untuk membangunkanku di antara embun beku yang pelan-pelan terbias mentari. Aku mengerti kini bahwa hati selalu belajar tentang kehilangan dari sebuah pertemuan.


Meskipun terkadang tidak mudah, aku belajar untuk tidak lagi mempertanyakan segala yang pernah ada antara kita. Kau pergi membawa segala jawab yang pernah ingin aku dengar menuju tempat terindah di sisiNya.


Kelak kita akan bertemu di satu lintasan waktu sekali lagi, bukan untuk saling mempertanyakan tapi untuk saling menyunggingkan seulas senyum bahwa kita baik-baik saja.


Tulisan ini diterbitkan dalam Buku Sejenak Menepi terbitan Kalana Publishing.

Tentang Kepergianmu

 

Source : Google Image.

Tentang kepergianmu adalah sesuatu yang pernah membuatku serapuh itu. Mengumpulkan puing demi puing puncak mimpi yang pernah kita singgahi bersama.


Ternyata tak ada yang benar-benar sungguh, pun denganmu yang hanya singgah untuk menjadikanku penenang, bukan pemenang.


Kamu tahu? Kepergian yang paling menyakitkan adalah yang tanpa lambaian tangan, tanpa aba-aba kemudian menghilang.


Hari-hariku patah, malam-malamku sembab karena sebab pergimu.  Aku mungkin menyesali karena tak sempat bertanya arti diri padamu, hingga kamu membawa semua jawab atas resah di tiap malam-malam jejal.


Tapi, kamu tak usah khawatir kelak hariku akan bersenandung lagi dan malamku akan penuh dengan asa bahagia. Waktu akan berbaik hati menyertai segala ingin untuk mengenangmu tanpa air mata.


Aku paham dari kepergianmu aku belajar. Tuhan sedang berbicara padaku tentang keikhlasan, tentang melepaskan apa yang bukan menjadi takdir.


Kularungkan doa untuk semua harap yang tak bisa dinadakan suara. Untuk semua hadir yang tak bisa bersemai dalam tatap. Tenanglah kamu di sana, damailah dalam dekapanNya.


Juli, 2020

Tulisan ini diterbitkan di Buku Kumpulan Prosais Patah Hati Nulis Keroyokan Batch 11

Secangkir Teh


 

Hari ini senja sudah lelap, malam hinggap di gedung-gedung kota dengan keletihan yang sama. Aroma hangatnya kopi menyeruak dari sebuah kafe di sudut jalan. Selintasan kenang akhirnya membawa langkahku masuk ke dalamnya.


Kafe ini masih seperti beberapa tahun lalu saat aku masih sering berlama-lama mendetik waktu di sini.


“Mau kopi apa?,” Tanya seorang barista membuyarkan ingatanku.


Aku menatapnya dengan agak lama lalu menggeleng. “Teh aja.”

Dia cuma tersenyum dan mengangguk tanpa bertanya lagi. Tak lama dia mengantarkan pesanan ke mejaku.


“Chamomile tea, pas banget buat ngerefresh badan sama pikiran.”


Aku Cuma mengangguk dan tersenyum melihat sikap dan senyumnya yang ramah.


Di luar hujan mulai turun, aku menyeruput teh dan merasakan hangatnya jadi penawar gigil yang beku. 


Ternyata benar kalau ada yang bilang hujan itu sanggup menghajar seseorang dengan kenangan. Hujan malam ini membawa ingatanku beberapa tahun lalu.


Aku dan kamu selalu menghabiskan waktu di tempat ini. Terkadang hanya untuk ngobrol tentang hal-hal yang remeh atau sekedar pelepas lelah dari penatnya rutinitas ditemani bercangkir-cangkir kopi.  


Mungkin kamu akan meledek dan mentertawaiku habis-habisan sekarang melihat seorang pecandu kopi, yang kamu bilang kalau diambil darahku pasti bukan darah tapi kopi dan harus meninggalkan candunya dan lebih memilih minum teh sekarang.


Aku menghapus air mataku yang tanpa kusadari muncul ingin ikut andil saatku mengingatmu. Kamu boleh tertawa karena itu bahagiaku, tapi satu hal yang kamu tidak tahu, aku berhenti minum setelah kamu pergi. 


Bagiku rasa kopi tak lagi sama, setiap kali aku menyeruput kopiku selalu meninggalkan rasa kehilangan.


Kusesap tehku sampai tandas lalu aku keluar dari kafe itu sambal merapatkan jaketku. Hujan sudah mulai merintik, aku melihat ke langit dan menyapamu, semoga di dinginnya malam ini Tuhan berbaik hati mau menemanimu minum kopi di surgaNya.