Thursday, December 10, 2020

Secangkir Teh


 

Hari ini senja sudah lelap, malam hinggap di gedung-gedung kota dengan keletihan yang sama. Aroma hangatnya kopi menyeruak dari sebuah kafe di sudut jalan. Selintasan kenang akhirnya membawa langkahku masuk ke dalamnya.


Kafe ini masih seperti beberapa tahun lalu saat aku masih sering berlama-lama mendetik waktu di sini.


“Mau kopi apa?,” Tanya seorang barista membuyarkan ingatanku.


Aku menatapnya dengan agak lama lalu menggeleng. “Teh aja.”

Dia cuma tersenyum dan mengangguk tanpa bertanya lagi. Tak lama dia mengantarkan pesanan ke mejaku.


“Chamomile tea, pas banget buat ngerefresh badan sama pikiran.”


Aku Cuma mengangguk dan tersenyum melihat sikap dan senyumnya yang ramah.


Di luar hujan mulai turun, aku menyeruput teh dan merasakan hangatnya jadi penawar gigil yang beku. 


Ternyata benar kalau ada yang bilang hujan itu sanggup menghajar seseorang dengan kenangan. Hujan malam ini membawa ingatanku beberapa tahun lalu.


Aku dan kamu selalu menghabiskan waktu di tempat ini. Terkadang hanya untuk ngobrol tentang hal-hal yang remeh atau sekedar pelepas lelah dari penatnya rutinitas ditemani bercangkir-cangkir kopi.  


Mungkin kamu akan meledek dan mentertawaiku habis-habisan sekarang melihat seorang pecandu kopi, yang kamu bilang kalau diambil darahku pasti bukan darah tapi kopi dan harus meninggalkan candunya dan lebih memilih minum teh sekarang.


Aku menghapus air mataku yang tanpa kusadari muncul ingin ikut andil saatku mengingatmu. Kamu boleh tertawa karena itu bahagiaku, tapi satu hal yang kamu tidak tahu, aku berhenti minum setelah kamu pergi. 


Bagiku rasa kopi tak lagi sama, setiap kali aku menyeruput kopiku selalu meninggalkan rasa kehilangan.


Kusesap tehku sampai tandas lalu aku keluar dari kafe itu sambal merapatkan jaketku. Hujan sudah mulai merintik, aku melihat ke langit dan menyapamu, semoga di dinginnya malam ini Tuhan berbaik hati mau menemanimu minum kopi di surgaNya.

 


0 cerita:

Post a Comment